Selasa, 23 Maret 2010

Buku Harian Nanda

Namaku Sabrina. Sekarang aku duduk dibangku SMA, kelas dua. Di sekolah, aku di kenal sebagai anak yang cukup pandai dan aktif, menurut teman-teman sekelas, aku memiliki sifat yang mudah bergaul dengan orang lain. Aku hampir mengenal seluruh teman sekelas kecuali Nanda. Aku tidak mengerti mengapa Nanda sulit sekali aku dekati. Dia tipe anak yang pemurung dan tertutup. Waktu awal masuk kelas baru ini, aku duduk di sebelah bangku Nanda. Aku berusaha berkenalan dengannya, namun tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Jawabannya hanya lewat senyuman. Karena terlalu pendiamnya Nanda, Jodi yang juga teman sekelasku, sering meledeki Nanda agar dia mau berbicara. Kadang, ledekin Jodi melewati batas. Bahkan Nanda sering jadi bahan ledekan anak-anak sekelas, termasuk aku. Bukannya aku jahat, namun ada perasaan kesal juga dalam hatiku. Aku selalu berusaha ingin menjadi temannya, tetapi ia tak pernah menggubris usahaku sama sekali. Aku bosan jika harus melembutkan bahasa ku di depannya. Toh, dia tak pernah ingin menjadi temanku.


Hari Rabu kemarin, Nanda salah kostum. Dia fikir hari ini hari kamis. Spontan saja seluruh anak kelas mentertawakannya. Terutama Jodi si biang ribut di kelas.


“mbak, kok kayaknya bajunya jadi bermotif. Ato jangan-jangan di gambar dulu yah sebelum berangkat! Bangun mbak, you are saltum. ini hari rebo, pake batiknya besok!” Jodi meneriakinya sembari berdiri di bangku kelas.


Nanda masuk ke kelas dengan wajah tertunduk menahan malu. Namun, ia hanya diam saja tak berkutik apa-apa. Jika aku jadi Nanda, aku akan balas ledekan konyol si Jodi. Hari demi hari, aku semakin nyaman dengan kelas yang baru. Karena aku masuk ke peminatan IPA, jadi aku harus berpikir logis layaknya scientist. Mata pelajaran yang aku senangi ialah biologi. Jika ada pelajaran biologi, aku selalu banyak bertanya agar aku paham maksud yang di bicarakan pak Darwis. Jika pak Darwis memberi pertanyaan pun dengan lantang aku memberikan argumen. Walaupun argumenku sering di bantah teman-teman yang lain, aku tak perduli. Aku selalu menanamkan dalam diriku, bahwa di sekolah ini kita sama-sama menimba ilmu. Kita sama-sama mencari sesuatu yang baru. Jadi, buat apa kita malu bertanya, daripada kita sesat di jalan.


Hari demi haripun, aku selalu memperhatikan tingkah laku Nanda. Setiap jam istirahat, dia tak pernah jajan. Membawa bekal pun tak pernah. Yang ia kerjakan hanya menulis. Entah dia menulis tentang apa. Yang kulihat hanya buku kecil berukuran 15 x 10 berwarna pink. Mirip buku diari Tania, adikku. Bukan hanya sesekali ia menulis, tetapi kusering melihatnya seru dengan dunianya sendiri. Rasa penasaran menghinggapi diriku. Sesekali terlintas di benakku untuk membaca apa yang telah di tulisnya. Ide jahil itupun muncul di benakku. Ketika Nanda sedang tak ada di kelas, aku bersama teman-teman cewek yang lain mencari buku harian itu. aku mulai mecari dari kolong meja hingga ke tasnya. Akhirnya kumenemukan buku itu diantara buku pelajaran lain di dalam tasnya. Aku tak ingin membacanya sekarang. Kuputuskan untuk mengambilnya dahulu dan kusimpan dalam tasku. Saat bel berbunyi, satu persatu seluruh anak kembali ke kelas, begitupun dengan Nanda. Saat dia duduk dibangkunya, ia kelihatan bingung mencari sesuatu. Kurasa ia mencari buku hariannya tersebut. Seberapa berartinya buku harian ini, hingga ia begitu panik. Aku jadi semakin penasaran dan tak sabar untuk membacanya.


Sesampainya di rumah, niat jahatku pun semakin menggebu-gebu. Kumulai membuka lembar demi lembar. Halaman pertama tentang perasaanya di kelas baru. Beralih ke halaman kedua, ia menceritakan tentang sulitnya menjadi anak pendiam. Di buku harian tersebut juga menceritakan tentang tingkah laku anak-anak di kelas yang sering meledekinya. Masalah keluarganya juga tertulis dalam buku itu. Betapa ia berat menjalani hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibunya. Karena keduanya meninggal akibat kecelakaan pesawat. Sekarang ia hanya tinggal bertiga dengan kakak perempuan dan neneknya. Perasaan kesepianpun kerap menyelimutinya karena tak ada teman untuk mencurahkan isi hatinya. Kemudian, di tengah-tengah halaman, Nanda juga menceritakan tentang diriku. Dia menulis segalanya tentangku. Kepandaianku, kerianganku, tingkah lakuku. Betapa ia menyanjungku dalam buku hariannya. Teman pertama yang ia kenal ramah saat pertama memasuki kelas ialah aku. Dan tersirat di dalamnya bahwa sebenarnya ada keinginan Nanda untuk berteman dengan diriku. Namun, hal itu tak mungkin terwujud karena begitu populernya diriku, hingga ia minder untuk mendekatiku.


Setelah selesai membaca buku harian Nanda, aku menjadi merasa bersalah. Seharusnya aku tak selancang itu membaca buku harian orang lain. Tak ada satu kalimatpun dalam buku hariannya yang menjelekkanku. Padahal Nanda tak tahu apa yang telah kuperbuat selama ini terhadapnya. Termasuk kesalahan terbesar ini, membaca buku hariannya. Keesokan harinya kuberniat mengembalikan buku harian itu kepada pemiliknya. Aku tak tahu apakah setelah kejadian ini, Nanda masih ingin berteman denganku atau tidak. Saat bel istirahat berbunyi, aku menghampiri Nanda yang sedang duduk di taman sekolah seorang diri.


“Hai Nda, ngapain kamu disini sendiri? Kok gak gabung ama anak-anak yang lain?” Tanyaku lembut terhadapnya. Seperti biasa kumenunggu jawaban darinya begitu lama.


“A..a..ku sedang bingung sab.” Akhirnya ia mulai mengeluarkan sepatah dua patah kata.

“Bingung kenapa? Coba lo ceritain?” tanyaku heran.


“Buku harianku hilang. Padahal buku itu penting banget buatku.” Jawabnya perlahan.

“Memang seberapa pentingnya buku itu buat kamu? Kan Cuma buku harian biasa.” Sahutku agak menaikkan intonasi nada pembicaraan.


“Mungkin menurut kamu, buku harian itu gak penting. Karena kamu mudah mengungkapkan perasaan yang sedang kamu alami ke orang lain. Tapi bagiku buku itu ialah teman curhatku. Walaupun ia tak memberi saran untuk masalahku. Namun paling gak, buku itu bisa menjadi tempat pengaduanku, saksi bisu hidupku.”


Jawaban yang Nanda lontarkan mengejutkan hatiku. Aku tak pernah mendengarnya berbicara selancar ini. Kuputuskan untuk segera mengembalikan buku itu padanya. Lalu, aku berterus terang tentang apa yang aku lakukan kemarin. Setelah mendengar penjelasanku, Nanda tak marah pada diriku. Malah sebaliknya, ia senang aku membaca buku hariannya. Jadi dia tak perlu repot lagi untuk mendekatiku agar mau menjadi temannya. Tanpa dia pintapun aku ingin menjadi temannya. Dan sejak saat itu, aku dan Nanda menjadi teman akrab. Karena buku harian itu, aku dan Nanda didekatkan untuk saling memberikan solusi dari setiap masalah layaknya seorang sahabat. Dan kurasa ia akan menulis lagi tentangku dalam buku hariannya.


the end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah mampir di blog saya :)