Selasa, 23 Maret 2010

Cuma Seceng a.k Seribu Rupiah

“Ma, ongkos fitri mana? Aku telat ney mah!!” teriakanku menggaung di seluruh ruangan rumah.


“Duh, sabar dong, mama lagi nyari seribuan ney.” Jawab mama seraya mengeluarkan seisi dompetnya di kamar.


“Duh ma, seceng doang, udahlah jebanan aja sini. Ntar aku ketinggalan bis nih. Dah mama, assalamualaikum.” Kusalami mama, kucium kedua pipinya dan bergegas berangkat ke sekolah.


Di perjalanan, aku mendapatkan bus yang cukup padat penumpangnya. Yah, setiap hari aku harus berjubel-jubelan dengan penumpang lain. Walaupun posisiku tidak nyaman untuk berdiri, namun aku harus memaksakannya agar terasa nyaman. Seperti biasa, kondektur bus menariki bayaran dari satu penumpang ke penumpang lain. Untuk menaiki bus hanya mengelurkan dua ribu rupiah saja untuk sampai ke semua tempat tujuan. Namun hari ini aku sedang sial. Di dompetku tidak ada recehan. Aku baru ingat, tadi sewaktu ingin berangkat sekolah, mama memberiku uang sepuluh ribuan. Dan di dompetku hanya ada lima puluh ribuan. Aku malas menerima kembalian dari kondektur. Biasanya, ia memberikan uang yang lusuh dan lecek. Malah kadang-kadang robek. Karena kepepet, terpaksa kuharus merelakan sepuluh ribuanku di tukar dengan uang seribuan. Sesampainya di sekolah, kulihat pintu gerbang hampir saja di tutup oleh pak Amin (satpam sekolah).


“TUNGGU!!!!!...... PAK JANGAN DITUTUP” teriakku dari kejauhan sambil berlari menuju gerbang yang lima sentimeter lagi akan rapat.


“Kamu lagi?? Tiap hari terlambat terus! Kali ini kamu gak saya ijinkan masuk.” Bentak pak Amin yang repot mengunci pagar dari dalam sekolah karena di teriaki anak-anak lain yang terlambat pula sepertiku.


“Yah bapak. Duh, tolong bukain dong pak. Tadi tuh mama saya sibuk nyari uang secengan buat ongkos saya!” tiba-tiba anak-anak lain serempak menatapku dan kemudian gelak tawa memekakkan pagi yang cerah ini.


Jelas aja seluruh anak tertawa. Alasanku tidak masuk di akal. Anak-anak lain ada yang beralasan macet, kendaraanya mogok di jalan, kesiangan, dan sebagainya. Dan aku? Terlambat hanya gara-gara uang seribuan alias seceng. Setelah berhasil merayu pak Amin dan diperbolehkan masuk kelas, hatiku lega karena tidak di pulangkan kepala sekolah. Walaupun di kelas, bu Risty, guru Bahasa Indonesiaku, menugasi untuk membuat karangan sebanyak empat lembar kertas folio. Paling tidak masih ada keberuntungan untuk mengikuti pelajaran lain.

* * *

Sepulang sekolah, aku dan teman-teman berencana mencuci mata di mal. Aku, Loli, Danu, dan Echa bersahabat sejak SMP. Dan sekarang kami dipertemukan kembali di bangku SMA. Danu memang satu-satunya laki-laki di antara kami. Namun, dia memiliki pribadi yang asyik, gokil, dan pede abis. Dan mungkin kami tidak memandangnya lagi sebagai laki-laki tampan. Tapi kami bertiga menjulukinya si “Konyol gak jelas”. Di mal kami menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di timezone, poto box, dan lain-lain kebiasaan anak-anak SMA. Tak kuduga, di dompetku hanya tinggal selembar dua puluh ribu dan lima lembar seribuan. Sengaja aku menyisihkan lima ribuan itu untuk ongkos pulang. Dan dua puluh ribuannya aku gunakan untuk makan di Solaria. Setelah puas mengobrol di Solaria kami bergegas pulang kerumah masing-masing. Kami berempat berpisah di parkiran. Aku menuju terminal bus yang berada di seberang jalan. Akhirnya aku bisa dapat tempat duduk di pojok. Di sebelah kananku duduk seorang ibu yang usianya sudah lumayan tua. Bisa di bilang seusia nenekku. Ku palingkan wajahku menghadap langit-langit yang telah menampakkan sinar orangenya.


Colekkan kondektur membangunkanku dari tidur. Ku sempat tertidur pulas. Ku berikan dua ribuan padanya. Dengan wajah masih mengantuk ku tengok sebelah kananku. Ternyata telah berganti orang menjadi seorang bapak-bapak mengenakan pakaian dinas. Orang-orang yang berdiripun tidak sesesak seperti pagi tadi. Ku eratkan lagi tas yang telah hampir menggelantung jatuh. Kutatap dari balik kaca bus gemerlapnya kota Jakarta di malam hari. Malam hari saja kota ini masih terlihat padat. Banyak orang yang menunggu angkutan di halte. Macetnya jalan raya di akibatkan salah satunya oleh pedagang makanan yang padat berjualan di pinggir jalan. Akibatnya, lahan jalan semakin menyempit, sehingga menimbulkan kemacetan di sepanjang jalan. Aku juga tidak sepenuhnya menyalahkan pedagang-pedangang tersebut. Di satu sisi, mereka juga membutuhkan lahan pekerjaan untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Tiba-tiba aku terkejut karena colekkan seseorang. Kupikir kondektur yang meminta bayaran lagi. Tapi tak mungkin. Kutengokkan wajahku kearah orang yang mencolekku. Ternyata dia seorang pengamen cilik yang meminta recehan. Karena tak ada receh, ku berikan uang seribuan kepadanya. Wajahnya memancarkan kesenangan yang tiada terkira. Dan terucap dari bibirnya yang mungil.


“Terimakasih banyak ya kak, aku bisa makan nih. Semoga kakak selamat sampai tujuan, sekali lagi makasih.”


Kemudian anak itu berlari turun dari bus. Bagiku, itu hanya uang seribuan. Namun baginya kurasa ia seperti mendapatkan lima puluh ribuan. Begitu berartinya uang seribuan itu untuknya. Aku yang kadang-kadang sering meremehkan seribuan karena jumlahnya yang kecil. Di zaman sekarang apa yang bisa kubeli dari seribuan. Tapi bagi anak itu, seribu saja sudah cukup untuk mengisi perutnya yang kosong. Anak itu telah mengingatkanku betapa pentingnya seribu rupiah. Tanpa seribu, mungkin tak akan menjadi sepuluh ribu, dua puluh ribu, bahkan satu milyar. Mulai sekarang kuharus lebih menghargai uang walaupun itu hanya seceng alias seribu rupiah. Dan aku tersadar bahwa aku telah sampai di halte tujuan.


The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah mampir di blog saya :)