Selasa, 23 Maret 2010

Pacar Kontrak

Nia punya pacar, Danti baru aja jadian. Aku?? How about me?. Jomblo itu memang tidak mengenakkan. Rasanya hidup ku hampa. Seperti lagunya mas Ari Lasso. Setiap hari Nia dan Danti curhat tentang pacar mereka. Mulai dari kebiasaan nonton film, makan bareng, tukeran kado, dan sebagainya. Aku, apa yang aku bicarakan. Kebanyakan yang aku ceritakan tentang cowok-cowok keren yang aku taksir. Sedih banget rasanya mengharap yang tak pasti. Aku memang bukan cewek popular di kampus. Harap di maklumi karena aku adalah mahasiswi semester satu. Aku, Nia, dan Danti bersahabat sejak kecil. Rumah kami berdekatan. Bisa dibilang kami tetangga. Orang tua kami saling kenal dan keakraban selalu menyelimuti antara kami. Maka dari itu, hubungan kami sudah seperti saudara. Nia anak pertama dari tiga bersaudara, Danti dan aku ialah anak tunggal. Jadi wajar jika aku dan Danti masih manja. Namun, kami bertiga tidak satu universitas. Nia kuliah di Universitas Negeri di Depok jurusan psikologi. Sedangkan Danti dan aku sama-sama di terima di universitas Negeri yang terletak di Rawamangun. Walaupun jurusan kami berbeda, namun sama-sama satu tujuan. Yaitu menjadi seorang pengajar. Tetapi intensitas kami bertemu cukup sering karena kami tetangga. Yup, kembali kepada topik sebelumnya. Tidak mempunyai pacar itu membosankan. Setiap malam minggu tak ada yang menjemput, mengajak nonton, jalan-jalan. Dan lebih menyakitkannya lagi, kedua sahabat ku itu lebih beruntung dari pada aku. Mereka memiliki pacar yang tampan, tajir, dan juga baik. Beberapa kali, kedua sahabatku pernah berusaha mengenalkanku pada seorang cowok namun tak pernah ada yang membuat hatiku berdebar. Aku hanya menganggap mereka semua teman biasa. Teman yang biasa aku suruh-suruh. He..he..


“La, gue punya kenalan lagi ney, temennya Tody. Orangnya ganteng, baek pula. Kayaknya lo musti ketemu ama dia deh.” Seperti itulah contoh saat Nia menawarkanku calon-calon pacar. Belum bertemu wujudnya, sudah di bilang ganteng. Oiya, tody itu pacarnya Nia.


“Eitz La, gue juga punya temen. Namanya Ardi. Anak Ekonomi. Sekelas ama cowok gue. Kata cowok gue dia pinter banget. Ok banget tuy wat lo!” beda lagi halnya dengan Danti. Dia lebih antusias di banding Nia. Pinter? Ekonomi pula, nanti belum apa-apa sudah perhitungan lagi.


Keseharianku di kampus biasa saja. Dibilang aktif tidak terlalu. Aku tak ingin menonjolkan diri dulu. Aku masih ingin belajar adaptasi dengan lingkungan baru seperti mahasiswa lainnya. Di kelas aku mempunyai beberapa teman dekat. Diantaranya Sofi, Ani, wulan, Riky, dan Tedja. Dibanding yang lain, Tedja sedikit aneh. Dari namanya saja sudah aneh. Tedja. Tedjajana. Seperti lagu dangdut. Hehe. Anehnya bukan dari segi penampilan dan sifatnya, melainkan dari cara dia memperlakukanku. Aku merasa dia memberi perhatian lebih terhadapku. Bukannya ge-er, namun anak-anak yang lain juga berargumen demikian. Sejak awal masuk, dia terlihat caper (cari perhatian) dihadapanku.


“La, jangan-jangan tedjo naksir kali ama lu!” kata Nia seraya mengambil kacang dalam toples.


“Namanya tedja Ni, bukan Tedjo! Tedjo mah tukang bubur yang suka lewat di depan rumah kita kali.” Sahutku membenarkan Nia yang sepertinya lapar. Sampai-sampai salah menyebut nama. Mungkin dia sedang membayangkan buburnya mas Tedjo.


“Kalo tiba-tiba nanti Tedja nembak lo gimana la? Lo terima apa gak? Secara lo kan juga lagi jomblo.”


Benar juga apa yang di ungkapkan Danti. Jika saja suatu saat Tedja menyatakan perasaannya terhadapku. Aku harus memikirkan hal terburuknya. Selama ini, dia teman yang baik dan perhatian. Bahkan di depanku, dia tak pernah sekalipun menampakkan wajah kesalnya. Padahal berulang kali aku selalu memarahinya karena kesalahanya.


Pembicaraan Nia, aku, dan Danti benar-benar terjadi. Selang beberapa minggu, saat bermain di rumah Sofi, Tedja dan teman-teman lain telah menyusun rencana untuk menembakku. Singkat namun sangat membekas. Saat kami membentuk lingkaran. Dia memainkan pesan berantai. Orang pertama adalah dia, dan yang terakhir ialah aku. Dia membisikkan kalimat “Aku suka kamu, mau gak jadi pacarku?” kepada anak-anak lain hingga akhirnya sampai ke telingaku. Jawaban sulit menurutku. Dan aku butuh waktu untuk menjawabnya.


“Dia bener-bener nembak gue!” ku menceritakan kejadian kemarin kepada Nia dan Danti.


“Tuy kan, apa gue bilang. Trus lo jawab apa?" Danti bertanya dengan penuh penasaran.


“Ya blum gue jawab, gue butuh waktu dua hari mulai dari sekarang. Menurut lo berdua gimana?” tanyaku penuh kebimbangan dan kebingungan.


“Gue punya ide! Tapi terserah lo mo nerima ide gue ato gak!gue Cuma nyaranin.”


Nia memberikan saran, agar aku menerima Tedja jadi pacar, namun hanya dalam batas dua bulan. Seperti di kontrak. Memang terkesan jahat, namun jika aku menolaknya pun aku tak tega. Nia memberikan kebebasan padaku dalam waktu dua bulan itu untuk menjalankan selayaknya pacaran. Kemudian selanjutnya setelah itu, kembali pada diriku. Aku menerima saran Nia.


Lusa, aku memberikan jawaban itu. Aku menerima Tedja sebagai pacarku. Banyak anak kelas yang tidak percaya. Mereka banyak yang berkata aku tak cocok dengan Tedja. Aku yang manis, kalem tak banyak bertingkah jadian dengan Tedja yang begajulan, jorok, dan pemarah. Namun itu semua tak kuhiraukan. I just try it! Seminggu kami lalui dengan indah-indahnya. Tedja selalu berkata


“Aku akan jadi yang terbaik buat kamu. Semua orang pasti punya banyak kekurangan La, tapi kalo kita bersyukur dengan apa yang kita dapat pasti semua akan mudah kita lalui.”


Di sisi perilakunya yang garang, dia memilki sisi yang romantis. Dia memang tidak pandai menyusun kata-kata. Namun, dia lakukan itu dengan perbuatan. Waktu kami sebulanan, dia memberikanku seikat mawar yang jumlahnya sama dengan tanggal jadian kami. Dia sering membuat surprise yang membuat aku tak percaya. Begitu besarnya perhatiannya padaku, namun aku masih bimbang dengan perasaanku. Kadang-kadang aku sayang, namun kadang aku tak perduli dengan apa yang dilakukannya. Sebulan lebih seminggu telah kami lewati bersama. Namun perasaan itu belum muncul juga. Aku hanya takjub dengan keromantisannya, namun tak pernah aku mencintainya.


“Gila lo La, dia sebegitu romantisnya, tapi lo blum ngerasain apa-apa?! Kalo gue jadi lo. Gue bangga-banggain tuh cowok gue!! Emang sih dia gak ganteng kayak cowok gue, tapi dari yang gue lihat. Dia sayang and perhatian banget ama lo La!” Nia menasihatiku seperti aku adalah anak tirinya.


“Tapikan itu lo Ni!! Gue kan beda ama lo! Gue ajah bingung ama perasaan gue ndiri. Ini semua salah lo Ni! Bentar lagi dua bulan. Perjanjian kitakan setelah dua bulan gue belum merasakan apa-apa, gue bakal mutusin dia. Tapi sekarang gue malah bingung. Gue jahat banget dong kalo gue mutusin dia tanpa sebab.”


“Kok lo jadi nyalahin gue? Guekan cuman ngasih saran!lo tuh yang plin-plan. Dikasih saran dikit langsung nerima aja. Sekarang lo malah nyalahin gue! Guekan mau yang terbaik wat lo La!” Nia begitu tersinggung hingga akhirnya dia pulang kerumahnya dan meninggalkanku sendiri di kamar.


Seminggu lagi. Aku berusaha menyusun kata-kata agar tak terlalu menyakitkan Tedja. Apa aku harus membuatnya ilfeel biar dia yang memutuskanku? Namun, bagaimana caranya? Aku masih diem-dieman dengan Nia. Belakangan ini kami jarang bermain bersama. Sekarang hanya Danti teman curhatku satu-satunya. Namun Danti tak sebrilian Nia yang punya segudang ide. Danti terlalu polos. Aku tak bisa mengandalkannya. Apa yang harus aku lakukan?


Seminggu telah berlalu. Tibalah saatnya hari ini aku melakukan tindakan. Aku memutuskan Tedja dengan caraku sendiri. Yaitu berkata jujur. Walaupun menyakitkan, namun ini demi kebaikan aku dengannya. Kumulai bercerita dari awal alasan aku menerimanya hingga tak kurasakan perasaan sayang itu terhadapnya. Hingga ujungnya aku meminta kami berpisah hari ini. Setelah mendengar pernyataan itu dariku, terlihat kekecewaan di wajahnya.


“Kenapa la?lo tega lakuin ini ke gue!gue selalu berusaha jadi yang terbaik wat lo! Apa karna gue gak ganteng La? Gue gak tajir? Gue terima keputusan lo. Tapi satu hal yang harus lo inget. Di dunia ini gak ada manusia yang sempurna. Lo mau bentuk cowok lo sebagus apapun pasti dia punya kekurangan!!” Tedja berbalik dan pergi meninggalkanku. Kulihat punggungya dari belakang semakin menjauh dan menghilang.


Seminggu kemudian, aku baru merasakan kehilangan yang begitu dalam. Kehilangan sahabat dan orang yang sempat mengisi hari-hariku. Setelah instropeksi diri. Kurasa aku yang salah, selama ini aku menginginkan pacar yang serba sempurna. Maka dari itu, aku terlalu pemilih dalam mencari pasangan. Mungkin aku tak menyadari perasaan ku terhadap Tedja, sebenarnya perasaan itu ada, namun aku menutupinya dengan melihat kekurangan Tedja sehingga aku ilfeel terhadapnya. Setelah kuberpisah dengannya, aku belajar banyak darinya. Tak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Dan aku sadar, dirikupun tak sempurna. Tuhan menciptakan ketidaksempurnaan agar kita terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Aku berbesar hati untuk meminta maaf kepada Nia, sahabatku. Aku tahu, dia hanya ingin yang terbaik buatku. Sekarang kami berbaikan kembali. Tapi sampai sekarang aku masih menunggu maaf dari Tedja. Entah sampai kapan dia membenciku. Namun, aku tahu sekarang, bahwa perasaan seseorang tidak bisa di beli dengan materi, fisik, dan perilaku. Semua itu terwujud karena adanya hati yang tulus. Terimakasih Tedja, karena kamu sempat menjadi pacar kontrak ku dan mengajarkan aku sesuatu hal yang berharga dalam hidupku.

-The end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah mampir di blog saya :)